Pengikut

Sabtu, 04 Maret 2017

Ajari Diri Berlaku Adil


Tak satu pun sifat yang paling diminati seorang calon pemimpin melebihi adil. Bagaikan bentangan layar, adil menggerakkan seluruh potensi kapal kepemimpinan seseorang menuju arah yang diinginkan. Tanpanya, kapal kepemimpinan hanya terombang-ambing di samudera masalah yang begitu luas.

Semua kita adalah pemimpin. Dan, semua pemimpin punya tanggung jawab kepemimpinan. Rasulullah saw. bersabda, “Semua kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang suami pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang isteri pemimpin dan bertanggung jawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang pelayan (pegawai) bertanggung jawab atas harta majikannya. Seorang anak bertanggung jawab atas penggunaan harta ayahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Seperti itulah Islam memberikan tantangan pada kita untuk senantiasa memaknai kehidupan menjadi tingkat yang lebih tinggi. Bahwa, kehidupan bukan untuk menyendiri dan berusaha tak peduli dengan sekitar. Kehidupan adalah tanggung jawab.

Salah satu tanggung jawab yang selalu melekat dalam jiwa seorang mukmin adalah adil. Di situlah seorang mukmin bukan sekadar berhadapan dengan amanah dan tanggung jawab, tapi juga memaknai tanggung jawab pada nilai tertinggi.

Selama jiwa kepemimpinan seseorang masih hidup, sifat adil akan selalu menjadi takaran. Sebagai apa pun. Walau sebagai pemimpin terhadap diri sendiri. Mampukah kita adil menata hak-hak yang ada pada diri kita. Dan ketidakadilan sangat berbanding lurus dengan ketidakseimbangan diri.

Orang yang mudah sakit misalnya, berarti ia sedang mengalami ketidakseimbangan. Ini berarti ada ketidakadilan pada diri. Boleh jadi, ada hak-hak anggota tubuh yang terabaikan. Ketidakadilan menjadi tubuh menjadi tidak seimbang. Dan ketidak seimbangan membuat diri menjadi rusak dan sakit. Pendek kata, sakit adalah ungkapan tubuh untuk menuntut pemenuhan hak salah satu anggota tubuh dengan cara paksa.

Mencermati keadilan pada diri akan menggiring kita untuk senantiasa mengukur dan menakar: mampukah kita masuk pada tanggung jawab yang lebih. Atau, belum. Kemampuan mengukur dan menakar ini pun buah dari sifat adil diri kita. Jika kita lengah dalam masalah ini, kelak kita bukan hanya menzhalimi diri sendiri, tapi juga orang lain.

Seperti itulah mungkin, Allah swt. menggiring kita untuk senantiasa mencermati keseimbangan. Lihatlah alam raya yang begitu seimbang. Tertata rapi, indah, dan sempurna. Dan itulah bukti keadilan Allah tegak di alam ini. Kalau alam yang pada awalnya seimbang, kenapa manusia dan masalahnya yang juga bagian dari alam tidak mampu adil dan seimbang. Apa yang salah?

Allah swt. berfirman dalam surah Ar-Rahman ayat 5 hingga 13. “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk(Nya). Di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang. Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya. Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”

Tuntutan berlaku adil akan lebih kencang ketika kepemimpinan masuk pada wilayah publik. Variabel-variabel yang dihadapi kian meluas. Ia bukan hanya harus mampu menata sifat adil dalam pertambahan jumlah objek, tapi juga pada mutu.

Boleh jadi, seseorang mampu adil terhadap objek yang banyak, tapi tidak mampu menjaga mutu adil ketika banyak rongrongan dan tuntutan datang bertubi-tubi. Dan itu sebagai sebuah kemestian pada wilayah publik yang heterogen dan majemuk.

Kadang, kita terpaksa mengakui bahwa manusia memang makhluk yang unik. Sifat adil pada manusia bisa terlahir pada susunan yang bukan hanya berbentuk seri, tapi juga paralel. Artinya, ada manusia yang mampu adil pada kepemimpinan di masyarakat, tapi gagal pada diri dan keluarga.

Boleh jadi, keunikan ini tidak berlaku pada umumnya manusia. Karena biasanya, orang yang gagal berlaku adil pada diri, akan sulit bersikap adil dalam kehidupan keluarga. Terlebih lagi dalam masyarakat dan negara. Inilah kenapa para pemimpin yang zhalim pada rakyatnya, pasti menyembunyikan masalah berat yang sedang terjadi antara ia dan keluarganya.

Seperti itulah dengan pemimpin Mekah di masa Rasulullah saw., Abu Sufyan semasa jahiliyahnya. Belakangan, baru terungkap dari mulut isterinya, Hindun, bahwa sang suami begitu kikir dengan uang belanja. Sehingga tak jarang, Hindun mencuri uang suaminya ketika sang suami lengah. Ada masalah ketidakadilan antara Abu Sufyan dengan Hindun, isterinya.

Hal inilah yang mungkin pernah dikhawatirkan Rasulullah saw. ketika isteri-isteri beliau menuntut hak yang lebih baik. Mereka merasa kalau kehidupan yang diberikan Rasulullah teramat sederhana. Beliau saw. khawatir hanya bisa mampu adil pada umat dan negara, tapi tak begitu dengan urusan rumah tangga sendiri. Beliau begitu bingung hingga mengurung diri beberapa hari. Akhirnya, Allah sendiri yang memberikan jawaban buat para isteri Nabi.

“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, ‘Jika kalian menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, kemarilah, akan aku berikan kesenangan kepada kalian dan aku akan menceraikan kalian dengan cara yang baik. Dan jika kalian menghendaki keridhaan Allah dan Rasul-Nya serta kesenangan di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah telah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antara kalian, pahala yang besar.” (QS. 33: 28-29)

Sedemikian bersihnya kepemimpinan Rasulullah saw. Tapi, toh, beliau mesti menghadapi tuntutan mutu keadilan yang lebih berat dan rumit. Apalagi jika kepemimimpinan sudah terkontaminasi dengan kepentingan. Ini akan jauh lebih rumit. Akan selalu muncul kecenderungan yang menggiring seseorang untuk berada pada satu tepi timbangan, dan lengah dengan tepi yang lain.

Boleh jadi, emosi menggiring seseorang hingga ia tak lagi mampu berlaku adil. Kebencian terhadap sesuatu kerap membuat seorang pemimpin mengurangi timbangan pada sesuatu itu. Di saat itulah, bentangan layar keadilannya timpang. Kapal kepemimpinan pun bukan hanya tak sampai tujuan. Bahkan, bisa tenggelam pada samudera masalah terus bergelombang.



sumber :pustka islami

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentarlah yang santun dan bijak